PESAWAT terbang warna putih itu memiliki panjang 3,5 meter. Lebar badan 1,5 meter, sedangkan sayap 1 meter. Kapasitasnya hanya dua tempat duduk. Pesawat yang diberi nama Jabiru J-200 itu cukup menarik perhatian pengunjung pameran.
Itulah karya pertama para siswa SMK Negeri 29 Jakarta yang dirakit pada 2003. “Karena (karya) pertama, pesawat ini punya histori sendiri sehingga kami pamerkan,” kata Haekal Faluehi, siswa SMKN 29. Masih ada empat pesawat lain hasil rakitan mereka.
Nama Jabiru diambil dari nama pabrikan Australia yang menyuplai bahan pesawat. Sekolah tersebut memang menjalin kerja sama dengan pabrikan tersebut.
Bahan-bahan berupa kerangka yang terpisah-pisah itu kemudian dirakit para siswa. Satu tim perakit terdiri atas sepuluh siswa yang dipimpin seorang instruktur. Mereka merakit mulai bodi pesawat, sayap, mesin, roda, sampai instrumen. Perakitan dimulai dengan memasang engine dan bodi pesawat. “Cukup lama memasangnya,” kata Haekal.
Tahap kedua memasang instrumen atau penunjuk pilot di kokpit. Setelah itu, dilanjutkan pemasangan alat kemudi terbang (flight control). Setelah tahap ketiga selesai, pekerjaan dilanjutkan dengan pemasangan sayap, roda (landing gear), dan penyangga pesawat. “Termasuk, memasang baling-baling,” paparnya.
Setelah pekerjaan itu selesai, baru dipasang kursi pesawat, diikuti memfungsikan saluran bahan bakar. Termasuk, memasang avionic atau listrik pesawat. Perakitan ditutup dengan mengecat bodi pesawat. Jabiru J-200 dirampungkan sekitar tiga bulan. “Tiap hari dikerjakan sampai lembur-lembur,” kata Haekal yang baru ikut merakit pesawat pada 2009.
Setelah pesawat jadi, mulai dilakukan uji coba. Jabiru pertama diuji coba pada 2004 di lapangan terbang Pondok Cabe. Kini Jabiru sering dipakai untuk berbagai kepentingan. Misalnya, studi banding masalah pesawat di Malaysia. “Pendamping kami pernah menerbangkan ke Malaysia. Pesawat ini memang sudah teruji,” ujar siswa berusia 18 tahun tersebut. Pesawat itu juga pernah menghadiri undangan pameran modifikasi di Singapura. Jabiru juga sering dipakai atlet Federasi Aero Sport Indonesia.
Pada 2005, siswa SMKN 29 merakit pesawat lagi. Kali ini, model sayapnya lebih panjang. Pesawat diberi nama J-430. Ada dua jenis pesawat tersebut. Setahun kemudian merakit dua jenis pesawat lagi, J-400.
Saat ini sekolah yang terletak di Kebayoran Baru itu tengah menyelesaikan pesawat berkapasitas empat tempat duduk. Kabarnya, Depdiknas bakal memberikan bantuan bahan perakitan maupun pesawat yang sudah jadi. “Katanya, untuk proyek pembelajaran siswa,” kata Haekal.
Merakit pesawat merupakan bagian dari pelajaran aerodinamika di SMK penerbangan itu. Ada tiga SMKN penerbangan di Indonesia. Selain SMKN 29, ada SMKN 12 di Bandung dan SMKN 2 Tangerang. Setelah berhasil merakit pesawat, pengelola sekolah tersebut berencana menambah pelajaran penerbangan pesawat pada kurikulum. “Kami akan dilatih sebagai pilot,” ujar Haekal, senang.
Instruktur siswa SMKN 29 Sugeng Sukarsono mengatakan, sebagai sekolah penerbangan, sudah sepatutnya siswa bisa menghasilkan pesawat sendiri. Selanjutnya siswa ditarget tidak hanya mampu merakit, tapi juga membuat pesawat. “Startnya tahun ini. Bahan-bahannya juga mudah (didapat),” katanya. Nanti SMKN 29 Jakarta akan membuat brand sendiri. Yaitu, pesawat SMK.
Dengan kemampuan itu, lanjut Sugeng, para siswanya punya peluang besar bekerja di industri pesawat. Tidak sedikit lulusan sekolah itu yang langsung direkrut perusahaan penerbangan.
Sekolah sendiri, meski saat ini belum ada pesanan dari kalangan industri, sudah mendapat order perorangan terkait perakitan pesawat. “Kami lihat prospeknya amat bagus. Dengan demikian, lulusan jurusan ini nanti semakin dibutuhkan,” kata pria kelahiran Bogor pada 1963 itu.
Karya siswa SMKN 4 Jakarta juga dibeli pengunjung pameran. Para siswa itu tidak hanya pamer karya, tapi juga memasarkan motor rakitannya. Mereka dengan senyum ramah dan sabar menjelaskan keunggulan motornya, Kanzen tipe Esemka.
Heru Afrizal, salah seorang siswa jurusan otomotif SMKN 4, mengatakan bahwa dia bersama sembilan kawannya mulai merakit motor sejak Februari lalu. Ketika itu, sekolah mereka mulai menjalin kerja sama dengan PT Inti Kanzen Motor Indonesia. Mereka disuplai bahan untuk dirakit. Rakitan siswa SMK itu diharapkan berstandar pabrikan.
Perakitan motor dibagi dalam lima pos. Satu pos diisi dua orang. Pada pos satu, siswa memasang blok mesin pada kerangka motor. Pos dua, memasang roda depan dan injakan kaki. Pos tiga, memasang lampu belakang dan pedal. Pos empat, memasang knalpot, cover body, dan soket lampu. Pos terakhir, memasang jok. “Tiap hari kami bisa menghasilkan empat sampai lima motor,” ujarnya.
Saat ini sudah dihasilkan 45 motor. Yang telah laku 30 motor. Sebelum produk itu dijual, PT Inti Kanzen Motor Indonesia mengecek standar mutunya. “Kualitas dicek dulu. Mesin dites dulu. Jangan sampai produk yang diluncurkan di pasaran berkualitas bawah,” kata Yopi Soepriyono, guru pendamping.
Pemasaran produk semula dilakukan di kalangan pelajar dan sekolah. Mereka bisa kredit melalui koperasi sekolah. “Mulanya, kami promosi di kalangan guru dan murid,” kata Yopi. Setelah itu, secara bertahap mengepakkan sayap ke luar. Siswa membuka showroom di sekolah dan beberapa tempat. Sayang, penjualan motor belum maksimal karena banyak pembeli yang memilih pembayaran dengan kredit. Padahal, modal yang dibutuhkan cukup besar.
Karena itu, melalui pameran pendidikan tersebut, SMKN 4 memperkenalkan produk mereka. Apalagi harganya di bawah motor Kanzen di pasaran. “Hasil rakitan kami tidak kalah dengan pasaran kok,” ujar Heru. Dia berharap agar setelah lulus nanti bisa buka usaha sendiri. Dia bersama kawan-kawannya ingin merintis usaha merakit motor. “Sejak kecil, saya sudah hobi bongkar-bongkar mesin,” kata siswa kelahiran tahun 1992 itu.
Itulah karya pertama para siswa SMK Negeri 29 Jakarta yang dirakit pada 2003. “Karena (karya) pertama, pesawat ini punya histori sendiri sehingga kami pamerkan,” kata Haekal Faluehi, siswa SMKN 29. Masih ada empat pesawat lain hasil rakitan mereka.
Nama Jabiru diambil dari nama pabrikan Australia yang menyuplai bahan pesawat. Sekolah tersebut memang menjalin kerja sama dengan pabrikan tersebut.
Bahan-bahan berupa kerangka yang terpisah-pisah itu kemudian dirakit para siswa. Satu tim perakit terdiri atas sepuluh siswa yang dipimpin seorang instruktur. Mereka merakit mulai bodi pesawat, sayap, mesin, roda, sampai instrumen. Perakitan dimulai dengan memasang engine dan bodi pesawat. “Cukup lama memasangnya,” kata Haekal.
Tahap kedua memasang instrumen atau penunjuk pilot di kokpit. Setelah itu, dilanjutkan pemasangan alat kemudi terbang (flight control). Setelah tahap ketiga selesai, pekerjaan dilanjutkan dengan pemasangan sayap, roda (landing gear), dan penyangga pesawat. “Termasuk, memasang baling-baling,” paparnya.
Setelah pekerjaan itu selesai, baru dipasang kursi pesawat, diikuti memfungsikan saluran bahan bakar. Termasuk, memasang avionic atau listrik pesawat. Perakitan ditutup dengan mengecat bodi pesawat. Jabiru J-200 dirampungkan sekitar tiga bulan. “Tiap hari dikerjakan sampai lembur-lembur,” kata Haekal yang baru ikut merakit pesawat pada 2009.
Setelah pesawat jadi, mulai dilakukan uji coba. Jabiru pertama diuji coba pada 2004 di lapangan terbang Pondok Cabe. Kini Jabiru sering dipakai untuk berbagai kepentingan. Misalnya, studi banding masalah pesawat di Malaysia. “Pendamping kami pernah menerbangkan ke Malaysia. Pesawat ini memang sudah teruji,” ujar siswa berusia 18 tahun tersebut. Pesawat itu juga pernah menghadiri undangan pameran modifikasi di Singapura. Jabiru juga sering dipakai atlet Federasi Aero Sport Indonesia.
Pada 2005, siswa SMKN 29 merakit pesawat lagi. Kali ini, model sayapnya lebih panjang. Pesawat diberi nama J-430. Ada dua jenis pesawat tersebut. Setahun kemudian merakit dua jenis pesawat lagi, J-400.
Saat ini sekolah yang terletak di Kebayoran Baru itu tengah menyelesaikan pesawat berkapasitas empat tempat duduk. Kabarnya, Depdiknas bakal memberikan bantuan bahan perakitan maupun pesawat yang sudah jadi. “Katanya, untuk proyek pembelajaran siswa,” kata Haekal.
Merakit pesawat merupakan bagian dari pelajaran aerodinamika di SMK penerbangan itu. Ada tiga SMKN penerbangan di Indonesia. Selain SMKN 29, ada SMKN 12 di Bandung dan SMKN 2 Tangerang. Setelah berhasil merakit pesawat, pengelola sekolah tersebut berencana menambah pelajaran penerbangan pesawat pada kurikulum. “Kami akan dilatih sebagai pilot,” ujar Haekal, senang.
Instruktur siswa SMKN 29 Sugeng Sukarsono mengatakan, sebagai sekolah penerbangan, sudah sepatutnya siswa bisa menghasilkan pesawat sendiri. Selanjutnya siswa ditarget tidak hanya mampu merakit, tapi juga membuat pesawat. “Startnya tahun ini. Bahan-bahannya juga mudah (didapat),” katanya. Nanti SMKN 29 Jakarta akan membuat brand sendiri. Yaitu, pesawat SMK.
Dengan kemampuan itu, lanjut Sugeng, para siswanya punya peluang besar bekerja di industri pesawat. Tidak sedikit lulusan sekolah itu yang langsung direkrut perusahaan penerbangan.
Sekolah sendiri, meski saat ini belum ada pesanan dari kalangan industri, sudah mendapat order perorangan terkait perakitan pesawat. “Kami lihat prospeknya amat bagus. Dengan demikian, lulusan jurusan ini nanti semakin dibutuhkan,” kata pria kelahiran Bogor pada 1963 itu.
Karya siswa SMKN 4 Jakarta juga dibeli pengunjung pameran. Para siswa itu tidak hanya pamer karya, tapi juga memasarkan motor rakitannya. Mereka dengan senyum ramah dan sabar menjelaskan keunggulan motornya, Kanzen tipe Esemka.
Heru Afrizal, salah seorang siswa jurusan otomotif SMKN 4, mengatakan bahwa dia bersama sembilan kawannya mulai merakit motor sejak Februari lalu. Ketika itu, sekolah mereka mulai menjalin kerja sama dengan PT Inti Kanzen Motor Indonesia. Mereka disuplai bahan untuk dirakit. Rakitan siswa SMK itu diharapkan berstandar pabrikan.
Perakitan motor dibagi dalam lima pos. Satu pos diisi dua orang. Pada pos satu, siswa memasang blok mesin pada kerangka motor. Pos dua, memasang roda depan dan injakan kaki. Pos tiga, memasang lampu belakang dan pedal. Pos empat, memasang knalpot, cover body, dan soket lampu. Pos terakhir, memasang jok. “Tiap hari kami bisa menghasilkan empat sampai lima motor,” ujarnya.
Saat ini sudah dihasilkan 45 motor. Yang telah laku 30 motor. Sebelum produk itu dijual, PT Inti Kanzen Motor Indonesia mengecek standar mutunya. “Kualitas dicek dulu. Mesin dites dulu. Jangan sampai produk yang diluncurkan di pasaran berkualitas bawah,” kata Yopi Soepriyono, guru pendamping.
Pemasaran produk semula dilakukan di kalangan pelajar dan sekolah. Mereka bisa kredit melalui koperasi sekolah. “Mulanya, kami promosi di kalangan guru dan murid,” kata Yopi. Setelah itu, secara bertahap mengepakkan sayap ke luar. Siswa membuka showroom di sekolah dan beberapa tempat. Sayang, penjualan motor belum maksimal karena banyak pembeli yang memilih pembayaran dengan kredit. Padahal, modal yang dibutuhkan cukup besar.
Karena itu, melalui pameran pendidikan tersebut, SMKN 4 memperkenalkan produk mereka. Apalagi harganya di bawah motor Kanzen di pasaran. “Hasil rakitan kami tidak kalah dengan pasaran kok,” ujar Heru. Dia berharap agar setelah lulus nanti bisa buka usaha sendiri. Dia bersama kawan-kawannya ingin merintis usaha merakit motor. “Sejak kecil, saya sudah hobi bongkar-bongkar mesin,” kata siswa kelahiran tahun 1992 itu.
0 komentar :
Posting Komentar