Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, adalah salah daerah yang tercatat dalam sejarah Islam. Khususnya kecamatan Barus, yang disebut sebagai pernah menjadi sentra pedagang Timur Tengah, hingga menjadi pusat penyebaran agama Islam di negeri ini.
Salah satu bukti sejarah ini adalah makam Syekh Mahmud di Barus. Syekh Mahmud adalah salah seorang penyebar masuknya Islam ke Indonesia pada Abad ke Enam. Makamnya ditemukan pada abad ke 13. Selain makam Mahmud ditemukan 43 batu nisa penyebar Islam lainnya di Barus. Semuanya bertuliskan aksara Arab dan Persia.
Makam Syekh Mahmud berada di Papan Tinggi, di atas ketinggian 200 meter di atas permukaan laut. Untuk mencapai ke makam, perlu menaiki 710 anak tangga. Butuh waktu satu jam baru sampai ke makam. Ke sinilah kaum muslimin di Barus dan sekitarnya berziarah setiap tahun, terutama pada ramadhan.
Sebagai tanda bahwa Mahmud berkaitan dengan Islam adalah batu nisannya yang bertuliskan aksara Persia dan Arab. Hingga kini, sebagaian aksara di nisanya belum bisa diterjemahkan. Diperkirakan bertuliskan dengan aksara Persia kuno yang bercampur dengan huruf Arab. Sebuah catatan menyebutkan Syekh Mahmud dari Hadramaut, Yaman.
Bahkan ada yang memperkirakan, Mahmud datang di masa 10 tahun pertama dakwah rasulullah Muhammad SAW di Mekkah. Sebagai alasannya, para kerabat dan sahabat Nabi Muhammad di masa itu membawa ajaran Islam tauhid. Karena itu i makam Mahmud tak ada penanggalan, hanya ada sabda Nabi Muhammad yang bermakna tauhid.
Cerita Islam yang dibawa Mahmud bisa masuk ke tanah Batak ini cukup menarik. Sebab, ternyata di masa itu orang-orang Batak yang terkenal dengan keyakinannya dalam ajaran Parmalim atau Sipetebegu itu bisa cocok dengan Islam. Kedatangan ajaran Islam yang dinilai singkron dengan kepercayaan Batak ini disebut periode pertama Islam masuk ke tanah Batak.
Rupanya, bagi warga di sana aliran tauhid atau sufistik yang dibawa oleh Mahmud tak begitu membingungkan masyarakat Batak. Ini juga menjelaskan kenapa dua ulama Aceh, Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin Sumatrani, berhubungan dengan Barus. Pada periode kedua di abad ke 17, Batak menolak Islam, periode ini yang datang adalah penyebar Islam Syariat.
Sayangnya, pemerintah daerah setempat tak begitu menghiraukan lokasi bersejarah ini.
Salah satu bukti sejarah ini adalah makam Syekh Mahmud di Barus. Syekh Mahmud adalah salah seorang penyebar masuknya Islam ke Indonesia pada Abad ke Enam. Makamnya ditemukan pada abad ke 13. Selain makam Mahmud ditemukan 43 batu nisa penyebar Islam lainnya di Barus. Semuanya bertuliskan aksara Arab dan Persia.
Makam Syekh Mahmud berada di Papan Tinggi, di atas ketinggian 200 meter di atas permukaan laut. Untuk mencapai ke makam, perlu menaiki 710 anak tangga. Butuh waktu satu jam baru sampai ke makam. Ke sinilah kaum muslimin di Barus dan sekitarnya berziarah setiap tahun, terutama pada ramadhan.
Sebagai tanda bahwa Mahmud berkaitan dengan Islam adalah batu nisannya yang bertuliskan aksara Persia dan Arab. Hingga kini, sebagaian aksara di nisanya belum bisa diterjemahkan. Diperkirakan bertuliskan dengan aksara Persia kuno yang bercampur dengan huruf Arab. Sebuah catatan menyebutkan Syekh Mahmud dari Hadramaut, Yaman.
Bahkan ada yang memperkirakan, Mahmud datang di masa 10 tahun pertama dakwah rasulullah Muhammad SAW di Mekkah. Sebagai alasannya, para kerabat dan sahabat Nabi Muhammad di masa itu membawa ajaran Islam tauhid. Karena itu i makam Mahmud tak ada penanggalan, hanya ada sabda Nabi Muhammad yang bermakna tauhid.
Cerita Islam yang dibawa Mahmud bisa masuk ke tanah Batak ini cukup menarik. Sebab, ternyata di masa itu orang-orang Batak yang terkenal dengan keyakinannya dalam ajaran Parmalim atau Sipetebegu itu bisa cocok dengan Islam. Kedatangan ajaran Islam yang dinilai singkron dengan kepercayaan Batak ini disebut periode pertama Islam masuk ke tanah Batak.
Rupanya, bagi warga di sana aliran tauhid atau sufistik yang dibawa oleh Mahmud tak begitu membingungkan masyarakat Batak. Ini juga menjelaskan kenapa dua ulama Aceh, Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin Sumatrani, berhubungan dengan Barus. Pada periode kedua di abad ke 17, Batak menolak Islam, periode ini yang datang adalah penyebar Islam Syariat.
Sayangnya, pemerintah daerah setempat tak begitu menghiraukan lokasi bersejarah ini.
0 komentar :
Posting Komentar