Pulau Onrust di kepulauan Seribu merupakan pulau bersejarah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menjadi objek wisata. Pulau ini secara administratif berada dikepemilikan Pemerintah DKI Jakarta. Namun bila bekerja sama dengan Kementerian Agama RI, pulau ini dapat dijadikan sebagai objek wisata rohani. Paling tidak di bawah Kanwil Depag DKI Jakarta.
Pulau ini menjadi sangat berharga, karena pahlawan-pahlawan Indonesia banyak yang berangkat haji dari pulau ini. Beberapa sejarah dikatakan bahwa pulau ini merupakan karantina politik bagi haji-haji Indonesia saat itu yang sangat ditakuti Belanda namun dieksploitasi untuk tujuan monopoli perdagangan transportasi.
Kalau Kementeran Agama tidak mampu menjadikan ini menjai objek wisat rohani, paling tidak ada pihak swasta yang mampu mengelolanya. Misalnya persaudaraan haji atau yayasan-yayasan haji di Jakarta atau tingkat nasional. Beberapa bentuk wisata dapat didirikan seperti padepokan, ponpes atau pusat pengobatan rohani untuk retreat dan lain sebagainya.
Dengan dikelola secara profesional, angkutan dari Jakarta ke pulau terebut dapat dilakukan secara rutin, khususnya kepada wisatwan. Berikut ini beberapa informasi yang berhubungan dengan pulau tersebut.
Embarkasi Haji di Masa Kolonial (1)
REPUBLIKA.CO.ID, Dari tahun ke tahun, umat Islam dari Nusantara tak henti berlayar ke Tanah Suci untuk berhaji. Di masa penjajahan kolonial Belanda pun, animo untuk beribadah ke Baitullah tak pernah surut.
Pada 1803, tiga jamaah haji asal Minangkabau mengembangkan gerakan Padri sekembali dari Tanah Suci.
Tujuan utama gerakan ini adalah mengembangkan ajaran Islam yang lebih ortodoks untuk melawan praktik-praktik tradisional setempat.
Pemerintah kolonial Belanda tak senang terhadap gerakan ini dan menilainya sebagai cikal bakal pemberontakan. Sejak saat itulah, Belanda mulai mengawasi kegiatan haji secara ketat.
Belanda takut kalau masyarakat pribumi yang menunaikan haji akan membawa pemikiran baru lalu mengembangkan gerakan untuk menentang kolonialisme. Berangkat dari ketakutan itu, pada 1825, Belanda mengeluarkan berbagai peraturan haji, salah satunya disebut ordonansi.
Peraturan ini membuat ongkos naik haji sangat tinggi. Belanda menuntut para calon haji untuk memperoleh paspor dan membajar pajak sebesar 110 gulden. Aturan tersebut juga memungkinkan pemerintah Belanda mengawasi aktivitas para pribumi selama bermukim di Makkah.
Pada saat yang sama, Pemerintah Belanda juga berusaha memonopoli angkutan haji. Sebelumnya, hak untuk mengangkut jamaah haji Indonesia (saat itu disebut Hindia Belanda) dipegang oleh pemilik-pemilik kapal Arab dan Inggris.
Ketika itu, Inggris ikut dalam bisnis pengangkutan haji Nusantara karena melihat potensinya yang besar. Pada masa ini, pengangkutan jamaah haji tak lagi menggunakan kapal layar namun kapal api yang lebih canggih.
Melihat perkembangan ini, Pemerintah Belanda ikut ambil bagian dalam angkutan haji dengan memberikan izin monopoli pengangkutan kepada kongsi tiga, yaitu Rotterdamsche Llyod, Stoomvaartmatschappij Nederland, dan Stoomvaartmatschappi Oceaan pada 1873.
Jejak Sejarah Pulau Onrust Kepulauan Seribu
Tahun 1610, Jan Pieterszoon Coen minta restu Pangeran Jayakarta untuk membangun dok kapal disalah satu pulau di teluk Jakarta untuk perbaikan kapal yang akan digunakan untuk berlayar ke Asia terutama ke Asia tenggara, permintaan ini disetujui oleh Pangeran Jayakarta dengan memberikan ijin pemakaian di Pulau Onrust, pulau seluas 12 hektar yang berjarak 14 kilometer dari Jakarta.
Tahun 1615, VOC mulai membangun dok perbaikan kapal dan gudang di pulau Onrust. Jan Pieterszoon Coen pelan- pelan sudah berencana membangun perdagangan dan militer untuk melawan Banten dan Inggris.
Tahun 1656 VOC mulai membangun benteng pertahanan kecil yang berbentuk persegi panjang dengan dua menara pengawas, dan tahun 1671 benteng pertahanan ini diperbesar, benteng berbentuk simetris pentagonal dengan menara pengawas disetiap sudutnya. Konstruksi benteng dengan dinding tebal yang terbuat dari bata merah dan batu karang.
Tahun 1674 Benteng ini ditambah dengan beberapa bangunan gudang .
Tahun 1795 Posisi Belanda di Batavia kurang kuat akibat perang eropah dan tahun 1800 angkatan laut Inggris yang dipimpin oleh Kapten Henry Lidgbird Balls dengan kapal HMS Daedalus, HMS Sybille, HMS Centurion dan HMS Brave masuk ke Batavia dan benteng pertahanan pulau Onrust dihancurkan.
Tahun 1827 - 1848 : Pulau Onrust diperhatikan kembali oleh Gubernur Jenderal GA Baron Van Der Capellen dan beraktivitas normal kembali di tahun 1848
Tahun 1911-1933 pulau Onrust dan pulau Cipir menjadi karantina Haji, barak haji berjumlah 35 unit untuk kapasitas masing – masing 100 orang, jadi total dapat menampung 3500 orang. Dibangun di tahun 1911. Karantina haji ini adalah bagian dari politik Islam dari kolonial Belanda, karena takut akan kekompakan umat Islam, pemerintah kolonial Belanda mengkarantina penduduk pribumi yang ingin berangkat haji maupun setelah pulang haji di maksud agar melalui karantina haji ini kolonial Belanda mudah mengkontrol, dan merupakan taktik Belanda. Pulau Cipir tetangga dari pulau Onrust yang dihubungkan dengan jembatan ini masih terlihat sisa-sisa karantina haji walaupun sudah tidak utuh lagi, karantina haji ini mirip dengan penjara atau kamp konsentrasi. Bangunan karantina seperti rumah sakit dan bark terbagi di pulau Onrust dan pulau Cipir, dengan pusat karantina di pulau Onrust, jemaah diwajibkan ikut karantina selama 5 hari.
Tahun 1933 – 1940 pulau Seribu ini kembali digunakan Belanda untuk tahanan pembrontak yang terlibat insiden Tujuh Kapal “Zeven Provicien“. Di tahun 1940 pulau ini digunakan Belanda untuk menahan Jerman seperti Steinfurt yang merupakan kepala adminstrativ Pulau Onrust. Setelah jepang menyerbu Indonesia tahun 1942 peran pulau Onrust ini mulai menurun hanya digunakan sebagai penjara bagi penjahat dengan kejahatan serius.
Tahun 1972 gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin menyatakan pulau Onrust sebagai situs sejarah yang dilindungi.
Tahun 2002, pemerintah menyatakan pulau Onrust dan 3 pulau lain didekatnya (pulau Cipir, pulau Kelor dan Pulau Bidadari) sebagai Taman Arkeologi untuk melindungi situs – situs reruntuhan yang terdapat dipulau dari jaman VOC Belanda.
Embarkasi Haji di Masa Kolonial (2)
REPUBLIKA.CO.ID, Pada 1874, Belanda juga memberlakukan kebijakan yang menyulitkan, yakni jamaah haji diharuskan memiliki tiket pergi-pulang.
Ketentuan ini mungkin menguntungkan karena menunjang sistem monopoli bagi perusahaan pengangkut haji.
Sedangkan bagi pemerintah Hindia Belanda, ketentuan ini memudahkan kontrol mereka terhadap jamaah haji.
Dengan ketentuan tersebut, jamaah haji hanya diizinkan berangkat di sejumlah pelabuhan yang telah ditentukan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Mereka yang berangkat dari Hindia Belanda membawa pas perjalanan ke Makkah yang ditandatangani oleh pegawai pangreh Praja dengan terlebih dahulu pergi ke sebuah pelabuhan embarkasi jamaah. Pas tersebut harus diserahkan untuk ditandatangani oleh seorang penguasa pelabuhan.
Setibanya di Pelabuhan Jeddah, terlebih dulu jamaah menghadap konsulat Belanda dengan menukarkan pas jalannya dengan pas izin tinggal selama musim haji. Setibanya kembali di Tanah Air, pas itu sekali lagi harus ditandatangani oleh penguasa-penguasa Belanda.
Bahkan, pas perjalanan model tahun 1884 ini, tak hanya memuat keterangan tentang jenis kelamin, umur, dan tinggi badan, tetapi juga keterangan mengenai bentuk hidung, mulut, dan dagu, serta tentang apakah si pemilik pas berkumis, jenggot, atau lainnya.
Pulau Onrust
Pengawasan terhadap jamaah haji semakin menjadi-jadi ketika Belanda mengeluarkan aturan baru untuk mengumpulkan para calon haji dan mereka yang selesai berhaji di sebuah pulau bernama Onrust.
"Nama 'Onrust' diambil dari bahasa Belanda yang artinya 'Tidak Pernah Beristirahat' atau dalam bahasa Inggrisnya 'Unrest'," ujar wartawan senior sekaligus pemerhati sejarah Betawi, Alwi Shahab.
Sebelum difungsikan sebagai tempat embarkasi dan karantina haji pada 1911 hingga 1933, pulau yang terletak di kawasan Kepulauan Seribu ini merupakan pangkalan Angkatan Laut Belanda. "Di pulau ini para tentara Belanda beraktivitas bongkar muat logistik perang," kata pria yang akrab disapa Abah Alwi ini.
Haji Sukarno
Bung Karno adalah seorang Haji Akbar. Nalarnya, saat ia berangkat haji tahun 1955, ritual inti haji terjadi pada hari Jumat, sebuah hari suci bagi umat Islam. Karena itulah ia bergelar Haji Akbar. Tentu saja peristiwa itu tergolong langka. Sebuah versi menyebutkan, dari ibadah haji yang dilakukannya itulah ia mendapat tambahan nama “Ahmad”.
Akan tetapi, Bung Karno tetap Bung Karno. Ia tidak menyandangkan nama Ahmad maupun gelar haji di depan namanya. Karenanya, ia pernah berang manakala seorang wartawan Amerika Serikat menuliskan namanya sebagai Ahmad Sukarno.
Menunaikan ibadah haji tahun 1955, tentulah berbeda dengan era sekarang. Sebab, fasilitas penunjang kelancaran beribadah, belum sesempurna saat ini. Sebagai contoh, ritual sa’i, yakni berjalan kaki dengan tergesa-gesa antara dua bukit, bukit Shafa dan Marwah tidak semudah sekarang.
Sa’i, adalah sebuah ritual yang mengilas balik ketika Ismail, putra Nabi Ibrahim dari Siti Hajar, masih menyusu. Suatu hari perbekalan mereka habis, Ismail kelaparan dan kehausan. Siti Hajar mencoba mencari sumber air dengan berlari-lari antara dua bukit: Shafa ke Marwah demi seorang anak amanah Allah. Hajar pun terus mencari sumber air bolak-balik tujuh kali. Sampai suatu ketika, Allah menolong mereka dengan memberikan sumber air yang jernih, yang sekarang kita namakan air zam-zam. Sumber air yang keluar dari hentakan dan jejakan kaki Ismail.
Kisah Siti Hajar ini diabadikan dan dikenang oleh seluruh umat Islam di dunia, sebagai rangkaian ibadah haji, yakni sa’i -berlari-lari kecil atau berjalan tergesa-gesa dari Sahfa ke Marwah bolak-balik tujuh kali.
Nah, di tahun 1955, jalan antara dua bukit tadi masih sempit dan tidak rata, ditambah kepikukan pertokoan dan warung-warung makan di kiri kanan jalan tadi. Sedangkan saat ini, jalan antara Shafa dan Marwah lebar dan mulus berkat hamparan marmer, beratap pula. Jika dulu, jalur tadi sempit dan digunakan untuk dua jalur, maka saat ini sudah jauh lebih lebar, dan terdapat pemisah antara satu jalur dan jalur lainnya.
Sejarah Saudi Arabia mencatat, perbaikan jalur antara bukit Shafa dan Marwah adalah berkat saran Bung Karno kepada Raja setempat. Pada tahun 1955, pengaruh Bung Karno memang begitu besar. Tidak saja di negara-negara Asia dan Afrika, tetapi hingga ke bentang Eropa, Amerika, bahkan Timur Tengah, termasuk Saudi Arabia.
Dr. Soeharto, dokter pribadi yang ikut serta dalam rombongan haji Bung Karno, menuturkan betapa ia merasa beruntung. Sebab, tidak seperti kebanyakan jemaah haji yang lain, maka Bung Karno dan rombongan diperkenankan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW di areal Masjid Nabawi, Madinah. Raja Arab begitu menghormati Bung Karno.
Dalam perjalanan pulang dari Tanah Suci, kepada Dr. Soeharto dan didengar anggota rombongan yang lain, Bung Karno sempat menyampaikan pesan spiritualnya. Katanya, “To… kamu hendaknya jangan mempergunakan predikat haji, sebelum kamu betul-betul dapat mendirikan –tidak sekadar menjalankan– shalat secara tertib sebagaimana yang diperintahkan.”
Pulau ini menjadi sangat berharga, karena pahlawan-pahlawan Indonesia banyak yang berangkat haji dari pulau ini. Beberapa sejarah dikatakan bahwa pulau ini merupakan karantina politik bagi haji-haji Indonesia saat itu yang sangat ditakuti Belanda namun dieksploitasi untuk tujuan monopoli perdagangan transportasi.
Kalau Kementeran Agama tidak mampu menjadikan ini menjai objek wisat rohani, paling tidak ada pihak swasta yang mampu mengelolanya. Misalnya persaudaraan haji atau yayasan-yayasan haji di Jakarta atau tingkat nasional. Beberapa bentuk wisata dapat didirikan seperti padepokan, ponpes atau pusat pengobatan rohani untuk retreat dan lain sebagainya.
Dengan dikelola secara profesional, angkutan dari Jakarta ke pulau terebut dapat dilakukan secara rutin, khususnya kepada wisatwan. Berikut ini beberapa informasi yang berhubungan dengan pulau tersebut.
Embarkasi Haji di Masa Kolonial (1)
REPUBLIKA.CO.ID, Dari tahun ke tahun, umat Islam dari Nusantara tak henti berlayar ke Tanah Suci untuk berhaji. Di masa penjajahan kolonial Belanda pun, animo untuk beribadah ke Baitullah tak pernah surut.
Pada 1803, tiga jamaah haji asal Minangkabau mengembangkan gerakan Padri sekembali dari Tanah Suci.
Tujuan utama gerakan ini adalah mengembangkan ajaran Islam yang lebih ortodoks untuk melawan praktik-praktik tradisional setempat.
Pemerintah kolonial Belanda tak senang terhadap gerakan ini dan menilainya sebagai cikal bakal pemberontakan. Sejak saat itulah, Belanda mulai mengawasi kegiatan haji secara ketat.
Belanda takut kalau masyarakat pribumi yang menunaikan haji akan membawa pemikiran baru lalu mengembangkan gerakan untuk menentang kolonialisme. Berangkat dari ketakutan itu, pada 1825, Belanda mengeluarkan berbagai peraturan haji, salah satunya disebut ordonansi.
Peraturan ini membuat ongkos naik haji sangat tinggi. Belanda menuntut para calon haji untuk memperoleh paspor dan membajar pajak sebesar 110 gulden. Aturan tersebut juga memungkinkan pemerintah Belanda mengawasi aktivitas para pribumi selama bermukim di Makkah.
Pada saat yang sama, Pemerintah Belanda juga berusaha memonopoli angkutan haji. Sebelumnya, hak untuk mengangkut jamaah haji Indonesia (saat itu disebut Hindia Belanda) dipegang oleh pemilik-pemilik kapal Arab dan Inggris.
Ketika itu, Inggris ikut dalam bisnis pengangkutan haji Nusantara karena melihat potensinya yang besar. Pada masa ini, pengangkutan jamaah haji tak lagi menggunakan kapal layar namun kapal api yang lebih canggih.
Melihat perkembangan ini, Pemerintah Belanda ikut ambil bagian dalam angkutan haji dengan memberikan izin monopoli pengangkutan kepada kongsi tiga, yaitu Rotterdamsche Llyod, Stoomvaartmatschappij Nederland, dan Stoomvaartmatschappi Oceaan pada 1873.
Jejak Sejarah Pulau Onrust Kepulauan Seribu
Tahun 1610, Jan Pieterszoon Coen minta restu Pangeran Jayakarta untuk membangun dok kapal disalah satu pulau di teluk Jakarta untuk perbaikan kapal yang akan digunakan untuk berlayar ke Asia terutama ke Asia tenggara, permintaan ini disetujui oleh Pangeran Jayakarta dengan memberikan ijin pemakaian di Pulau Onrust, pulau seluas 12 hektar yang berjarak 14 kilometer dari Jakarta.
Tahun 1615, VOC mulai membangun dok perbaikan kapal dan gudang di pulau Onrust. Jan Pieterszoon Coen pelan- pelan sudah berencana membangun perdagangan dan militer untuk melawan Banten dan Inggris.
Tahun 1656 VOC mulai membangun benteng pertahanan kecil yang berbentuk persegi panjang dengan dua menara pengawas, dan tahun 1671 benteng pertahanan ini diperbesar, benteng berbentuk simetris pentagonal dengan menara pengawas disetiap sudutnya. Konstruksi benteng dengan dinding tebal yang terbuat dari bata merah dan batu karang.
Tahun 1674 Benteng ini ditambah dengan beberapa bangunan gudang .
Tahun 1795 Posisi Belanda di Batavia kurang kuat akibat perang eropah dan tahun 1800 angkatan laut Inggris yang dipimpin oleh Kapten Henry Lidgbird Balls dengan kapal HMS Daedalus, HMS Sybille, HMS Centurion dan HMS Brave masuk ke Batavia dan benteng pertahanan pulau Onrust dihancurkan.
Tahun 1827 - 1848 : Pulau Onrust diperhatikan kembali oleh Gubernur Jenderal GA Baron Van Der Capellen dan beraktivitas normal kembali di tahun 1848
Tahun 1911-1933 pulau Onrust dan pulau Cipir menjadi karantina Haji, barak haji berjumlah 35 unit untuk kapasitas masing – masing 100 orang, jadi total dapat menampung 3500 orang. Dibangun di tahun 1911. Karantina haji ini adalah bagian dari politik Islam dari kolonial Belanda, karena takut akan kekompakan umat Islam, pemerintah kolonial Belanda mengkarantina penduduk pribumi yang ingin berangkat haji maupun setelah pulang haji di maksud agar melalui karantina haji ini kolonial Belanda mudah mengkontrol, dan merupakan taktik Belanda. Pulau Cipir tetangga dari pulau Onrust yang dihubungkan dengan jembatan ini masih terlihat sisa-sisa karantina haji walaupun sudah tidak utuh lagi, karantina haji ini mirip dengan penjara atau kamp konsentrasi. Bangunan karantina seperti rumah sakit dan bark terbagi di pulau Onrust dan pulau Cipir, dengan pusat karantina di pulau Onrust, jemaah diwajibkan ikut karantina selama 5 hari.
Tahun 1933 – 1940 pulau Seribu ini kembali digunakan Belanda untuk tahanan pembrontak yang terlibat insiden Tujuh Kapal “Zeven Provicien“. Di tahun 1940 pulau ini digunakan Belanda untuk menahan Jerman seperti Steinfurt yang merupakan kepala adminstrativ Pulau Onrust. Setelah jepang menyerbu Indonesia tahun 1942 peran pulau Onrust ini mulai menurun hanya digunakan sebagai penjara bagi penjahat dengan kejahatan serius.
Tahun 1972 gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin menyatakan pulau Onrust sebagai situs sejarah yang dilindungi.
Tahun 2002, pemerintah menyatakan pulau Onrust dan 3 pulau lain didekatnya (pulau Cipir, pulau Kelor dan Pulau Bidadari) sebagai Taman Arkeologi untuk melindungi situs – situs reruntuhan yang terdapat dipulau dari jaman VOC Belanda.
Embarkasi Haji di Masa Kolonial (2)
REPUBLIKA.CO.ID, Pada 1874, Belanda juga memberlakukan kebijakan yang menyulitkan, yakni jamaah haji diharuskan memiliki tiket pergi-pulang.
Ketentuan ini mungkin menguntungkan karena menunjang sistem monopoli bagi perusahaan pengangkut haji.
Sedangkan bagi pemerintah Hindia Belanda, ketentuan ini memudahkan kontrol mereka terhadap jamaah haji.
Dengan ketentuan tersebut, jamaah haji hanya diizinkan berangkat di sejumlah pelabuhan yang telah ditentukan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Mereka yang berangkat dari Hindia Belanda membawa pas perjalanan ke Makkah yang ditandatangani oleh pegawai pangreh Praja dengan terlebih dahulu pergi ke sebuah pelabuhan embarkasi jamaah. Pas tersebut harus diserahkan untuk ditandatangani oleh seorang penguasa pelabuhan.
Setibanya di Pelabuhan Jeddah, terlebih dulu jamaah menghadap konsulat Belanda dengan menukarkan pas jalannya dengan pas izin tinggal selama musim haji. Setibanya kembali di Tanah Air, pas itu sekali lagi harus ditandatangani oleh penguasa-penguasa Belanda.
Bahkan, pas perjalanan model tahun 1884 ini, tak hanya memuat keterangan tentang jenis kelamin, umur, dan tinggi badan, tetapi juga keterangan mengenai bentuk hidung, mulut, dan dagu, serta tentang apakah si pemilik pas berkumis, jenggot, atau lainnya.
Pulau Onrust
Pengawasan terhadap jamaah haji semakin menjadi-jadi ketika Belanda mengeluarkan aturan baru untuk mengumpulkan para calon haji dan mereka yang selesai berhaji di sebuah pulau bernama Onrust.
"Nama 'Onrust' diambil dari bahasa Belanda yang artinya 'Tidak Pernah Beristirahat' atau dalam bahasa Inggrisnya 'Unrest'," ujar wartawan senior sekaligus pemerhati sejarah Betawi, Alwi Shahab.
Sebelum difungsikan sebagai tempat embarkasi dan karantina haji pada 1911 hingga 1933, pulau yang terletak di kawasan Kepulauan Seribu ini merupakan pangkalan Angkatan Laut Belanda. "Di pulau ini para tentara Belanda beraktivitas bongkar muat logistik perang," kata pria yang akrab disapa Abah Alwi ini.
Haji Sukarno
Bung Karno adalah seorang Haji Akbar. Nalarnya, saat ia berangkat haji tahun 1955, ritual inti haji terjadi pada hari Jumat, sebuah hari suci bagi umat Islam. Karena itulah ia bergelar Haji Akbar. Tentu saja peristiwa itu tergolong langka. Sebuah versi menyebutkan, dari ibadah haji yang dilakukannya itulah ia mendapat tambahan nama “Ahmad”.
Akan tetapi, Bung Karno tetap Bung Karno. Ia tidak menyandangkan nama Ahmad maupun gelar haji di depan namanya. Karenanya, ia pernah berang manakala seorang wartawan Amerika Serikat menuliskan namanya sebagai Ahmad Sukarno.
Menunaikan ibadah haji tahun 1955, tentulah berbeda dengan era sekarang. Sebab, fasilitas penunjang kelancaran beribadah, belum sesempurna saat ini. Sebagai contoh, ritual sa’i, yakni berjalan kaki dengan tergesa-gesa antara dua bukit, bukit Shafa dan Marwah tidak semudah sekarang.
Sa’i, adalah sebuah ritual yang mengilas balik ketika Ismail, putra Nabi Ibrahim dari Siti Hajar, masih menyusu. Suatu hari perbekalan mereka habis, Ismail kelaparan dan kehausan. Siti Hajar mencoba mencari sumber air dengan berlari-lari antara dua bukit: Shafa ke Marwah demi seorang anak amanah Allah. Hajar pun terus mencari sumber air bolak-balik tujuh kali. Sampai suatu ketika, Allah menolong mereka dengan memberikan sumber air yang jernih, yang sekarang kita namakan air zam-zam. Sumber air yang keluar dari hentakan dan jejakan kaki Ismail.
Kisah Siti Hajar ini diabadikan dan dikenang oleh seluruh umat Islam di dunia, sebagai rangkaian ibadah haji, yakni sa’i -berlari-lari kecil atau berjalan tergesa-gesa dari Sahfa ke Marwah bolak-balik tujuh kali.
Nah, di tahun 1955, jalan antara dua bukit tadi masih sempit dan tidak rata, ditambah kepikukan pertokoan dan warung-warung makan di kiri kanan jalan tadi. Sedangkan saat ini, jalan antara Shafa dan Marwah lebar dan mulus berkat hamparan marmer, beratap pula. Jika dulu, jalur tadi sempit dan digunakan untuk dua jalur, maka saat ini sudah jauh lebih lebar, dan terdapat pemisah antara satu jalur dan jalur lainnya.
Sejarah Saudi Arabia mencatat, perbaikan jalur antara bukit Shafa dan Marwah adalah berkat saran Bung Karno kepada Raja setempat. Pada tahun 1955, pengaruh Bung Karno memang begitu besar. Tidak saja di negara-negara Asia dan Afrika, tetapi hingga ke bentang Eropa, Amerika, bahkan Timur Tengah, termasuk Saudi Arabia.
Dr. Soeharto, dokter pribadi yang ikut serta dalam rombongan haji Bung Karno, menuturkan betapa ia merasa beruntung. Sebab, tidak seperti kebanyakan jemaah haji yang lain, maka Bung Karno dan rombongan diperkenankan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW di areal Masjid Nabawi, Madinah. Raja Arab begitu menghormati Bung Karno.
Dalam perjalanan pulang dari Tanah Suci, kepada Dr. Soeharto dan didengar anggota rombongan yang lain, Bung Karno sempat menyampaikan pesan spiritualnya. Katanya, “To… kamu hendaknya jangan mempergunakan predikat haji, sebelum kamu betul-betul dapat mendirikan –tidak sekadar menjalankan– shalat secara tertib sebagaimana yang diperintahkan.”
0 komentar :
Posting Komentar