PENASEHAT Media Presiden sementara Mesir, Ahmed El-Meslemani, mengatakan, Minggu (25/8) dilansir Ahram Online, bahwa pihaknya berhasil mengatasi 'konspirasi' untuk menghancurkan negara.
"Kami menghadapai konspirasi terdanai yang melawan negara, tapi kami sudah mengatasinya dan kami akan bergerak maju membangun masa depan Mesir," kata El-Meslemani. "Mereka yang berusaha menghancurkan militer kami, tempatnya di tempat sampah bersama tentara bangsa Tatars dan Salib."
Tidak dirinci maksud dari pernyataan ini, tapi terlihat disiratkan ada sesuatu di dalam politik Mesir yang berusaha melawan sesuatu dari luar, berkaitan pada momen kudeta Presiden pertama yang terpilih secara demokratis, Mohamed Morsi, dimana Mesir kehilangan demokrasinya.
Pernyataan ini menguatkan adanya dugaan 'deep state' di Mesir yang mempunyai kekuasan penuh mengontrol negara dan opini di balik layar. Bila di negara-negara lain seperti di Amerika Srikat, Jerman maupun Turki, deep state yang pengertiannya hampir mirip istilah negara dalam negara, mudah diidentifikasi, maka di Mesir para pengamat masih berhipotesa siapa dan bagaimana karakteristik penguasa deep state Mesir.
Turki belakangan ini sudah berhasil mengoperasi dan mengeluarkan tumor ini, yang mereka sebut dengan istilah derin devlet. Peradilan kasus Ergenekon baru-baru ini menyingkap aktor-aktor di balik mafianya mafia yang selama ini mempunyai kekuasaan super merusak tatanan sosial, politik dan demokrasi negara itu.
Dr. Charles G. Cogan, dalam blognya di The Huff Post (16/8) berjudul 'Egypt: the Return of the Deep State' menuliskan bahwa deep state di Mesir itu terdiri dari kaum birokrat, militer dan pasukan keamanan alias polisi dan dinas rahasia.
Hal senada diungkapkan Charles Levinson dan Matt Bradley pada artikelnya 'In Egypt, the 'Deep State' Rises Again' di The Wall Street Journal (19/7). Lebih lanjut dituliskan, beberapa pertemuan yang dilakukan oleh kalangan jenderal dengan penasihat senior kalangan oposisi, yang menunjukkan masih kuatnya 'deep state' di Mesir. Namun dalam tulisan ini disebutkan, kalangan politisi menjadi salah satu unsur kekuatan deep state itu.
Menurut mereka, Juru Bicara militer Kolonel Ahmad Ali secara tidak langsung mengakui hal itu ketika mengatakan, "telah ada proses untuk mengetahui orang-orang yang sebelumnya kurang diajak bicara oleh militer." Kata mereka, ini menjadi bukti bahwa kudeta Jenderal Abdel Fattah al-Sisi bukan reaksi spontan terhadap demonstrasi anti-Morsi. Telah ada langkah-langkah pasti yang disusun sebelumnya seperti halnya kudeta merangkak untuk mencapai tujuan itu.
"Jika ada bukti-bukti kuat mengenai ini... bahwa sebelumnya ada sebuah rencana, maka itu akan menambah tekanan memotong bantuan [Amerika Serikat] dalam administrasi [Obama], yang saat ini masih berusaha menghindar penyebut pelengseran itu sebagai kudeta," kata Josh Stacher, seorang profesor ilmu politik di Kent State University dan pakar masalah Mesir.
Beberapa langkah matang sudah dipersiapkan jika pergerakan anti Morsi pada 'revolusi' 30 Juni lalu, tiba-tiba berubah tidak sesuai rencana, menjadi konter-revolusi. "Ada bahaya yang muncul bila aksi 30 Juni berubah menjadi konter-revolusi? Iya. Tapi itu juga akan menjadi kesempatan berharga untuk me-reset transisi," aku penasihat senior Amr Moussa, mantan Sekjen Liga Arab, dan saat itu menjadi anggota oposisi yang bergabung dengan National Salvation Front pimpinan Mohamed ElBaradei.
Jadi apapun hasilnya, kudeta atau tidak kudeta pasca 30 Juni, kalangan deep state sudah mempersiapkan langkah-langkah yang tetap akan menguntungkan mereka. Karena itu, ketika Albaredei memilih mengundurkan diri sebagai wakil Presiden, saat tidak kuat menyaksikan pembantaian demonstran anti-kudeta di mesjid Rabiaa Al Adawiya, dia langsung dituntut di pengadilan dengan tuduhan berkhianat kepada negara, yang mungkin juga dapat diartikan; berkhianat kepada deep state.
Hal senada juga diungkapkan penulis Bessma Momani dalam artikel 'In Egypt, ‘deep state’ vs. ‘Brotherhoodization’ di The Globe and Mail (21/8). Hanya saja dia menambahkan kalangan elit bisnis alias konglomerat dalam unsur deep state itu.
Dia menyoroti permainan indah para kroni mantan Presiden Hosni Mubarak ini yang lalai disadari Presiden Morsi, sehingga mengakibatkan korban jiwa pada pendukungnya yang tak berdosa.
Salah satu manuver cantik itu adalah bagaimana kekuatan deep state di kalangan birokrasi mampu leluasa men-sabotase aliran listrik dan supplai bahan bakar sehingga kelihatan pemerintahan Morsi tidak becus alias gagal memerintah. Selain itu mereka juga berhasil memblow-up rumor kelangkaan energi dan listrik ini di media-media mainstream yang meyebabkan kepanikan dan frustasi di kalangan masyarakat.
Anehnya, Momani yang juga seorang profesor di University of Waterloo ini juga mengetahui praktek politik kotor yang dilakukan kalangan deep state untuk memecah belah umat beragama dengan memunculkan kasus-kasus pembakaran rumah ibadah dan pembunuhan sektarian.
"Saat Morsi memerintah, anggota dinas rahasia dan keamanan membiarkan hukum tidak berjalan, membiarkan penonton sepakbola berantam satu sama lain, dan banyak kasus kekerasan terhadap kalangan Kristen Koptik tidak diinvestigasi mendalam," tulisnya. Sepertinya, ada pembiaran atau kesengajaan, karena opini yang terbentuk secara langsung tanpa investigasi yang mendalam, saat kaum minoritas tertindas, adalah pelakunya kalangan Islam, dalam hal ini kalangan Ikhwanul Muslimin (IM) yang salah satu figurnya menjadi presiden.
Momani juga menuliskan kalimat, untuk menggambarkan nasib IM saat ini. Kalimat ini pernah ditulis Joseph Heller, penulis Catch-22, “Just because you’re paranoid doesn’t mean they aren’t after you.” Masih banyak tulisan mengenai fenomena ini diantaranya, ''Deep State' Feared, Welcomed in Split Egypt', 'Did Egypt's "Deep State" Set Up Morsi to Fail?', 'Shallow Democracy v. Deep State: An Archaeology of the Crisis in Egypt', 'Egypt’s Deep State Dilemma', Egypt’s deep state was never dismantled, is now stronger, dan lain-lain, yang hampir sama dengan sedikit perubahan analisis.
Namun, yang belum terjawab dari berbagai tulisan ini adalah kemisteriusan 'deep state' di Mesir, yang menjadi hantu bagi demokrasi setempat. Dalam katagori di atas ada kesan yang agak menyesatkan; simplifikasi dan generalisasi. Bila di Turki, jelas anatominya, selain klasifikasi di atas, bahkan, ada juga kalangan wartawan, agamawan, artis, pengangguran, pemabuk dan lain-lain yang menjadi unsur deep state. Mungkin karena masih misterius itu dapat dipahami, mengapa banyak negara sangat hati-hati menyikapi krisis Mesir.
Apa yang dimaksud pihak luar oleh El-Meslamani, menjadi tanda tanya karena kedua kubu yang berkompetisi dalam politik Mesir sama-sama menuduh lawannya dibantu asing.
0 komentar :
Posting Komentar