Tanah Karo di masa silam bukanlah kawasan yang sepi dari gejolak. Sejarahnya yang panjang menyimpan banyak kisah perang antar suku dan intervensi kerajaan luar. Salah satu peristiwa awal yang paling berpengaruh adalah serangan besar dari pasukan Rajendra Chola dari India Selatan pada tahun 1024. Pasukan dari Kerajaan Tamil S’óliyan (Chola/Angkola) itu menyerbu Barus, pelabuhan penting di pesisir barat Sumatra, yang juga menyerang Sriwijaya dan Panai. Barus pun jatuh ke tangan mereka dan sejak itu mengalami perubahan besar dalam struktur kekuasaannya.
Sekitar tiga abad kemudian, wilayah Barus kembali diguncang konflik. Kali ini datang dari arah timur, ketika Adityawarman dari Ekspedisi Pamalayu Singhasari/Majapahit/Dharmasraya datang dari Sumatera Barat menyerang kelompok Simbirin/Sembiring, keturunan Chola yang bermukim di Barus. Kekalahan memaksa suku Simbirin untuk mundur ke pedalaman. Hal ini mengubah dinamika etnis di wilayah tersebut dan memicu pergeseran kekuasaan yang bertahan hingga ratusan tahun.
Di sisi selatan wilayah Karo, kisah suku Kembaren (dari Pagaruyung/Kerajaan Aru/Pustaka Alim Kembaren) yang bersekutu dengan Kesultanan Aceh juga tercatat melakukan ekspansi. Mereka menyerang Suku Malëala yang menghuni kawasan aliran Sungai Singkil (sekarang di Aceh). Setelah Singkil dikuasai, perempuan-perempuan dari suku Malëala dibawa ke Mekkah oleh Kesultanan Aceh untuk mempelajari agama Islam, menandai penguatan kembali pendidikan Islam yanh telah masuk ke kawasan barat Sumatra, Barus pada abad ke-7 M.
Pertautan antara Kesultanan Aceh dengan kekuatan lokal Karo terlihat semakin kuat ketika Sultan Aceh bersama Sisingamangaraja ke I yang menjadi 'Khalifah Batak' untuk Aceh memimpin perluasan kembali wilayah setelah era Samudera Pasai meredup terhadap suku Sembiring. Setelah kemenangan itu, Sisingamangaraja I mengangkat tokoh dari suku Sembiring untuk memerintah wilayah yang baru ditaklukkan. Hal ini memperlihatkan strategi politik akomodatif yang dipadukan untuk menampung aspirasi warga.
Namun, tak semua konflik berakhir dengan kompromi. Kerajaan suku Malëala, yang saat itu diperintah oleh Sinoe Raja, akhirnya dihancurkan oleh kekuatan suku Sembiring. Wilayah Sarinembah (Marga Barus?) pun berpindah tangan ke Sembiring, yang pada masa itu mulai menancapkan pengaruh besar di dataran tinggi Karo.
Sekitar tahun 1550, kekuasaan Raja Kembaren (bandingkan dengan Pustaka Alim Kembaren) meluas ke arah timur dan selatan Danau Toba. Wilayah Silahi-lahi (Silalahi) dan Paropo yang sebelumnya dihuni oleh suku Ginting dan Munte akhirnya jatuh ke tangan Kembaren. Peristiwa ini menandai salah satu titik penting dalam ekspansi suku Kembaren yang berambisi menguasai jalur-jalur air dan pegunungan strategis.
Penguasaan atas wilayah pinggiran Danau Toba, yang kini berada di Kabupaten Dairi, tidak hanya berimplikasi politik, tetapi juga ekonomi dan budaya. Perpindahan kekuasaan itu turut menggoyahkan tatanan sosial adat yang sudah terbentuk sejak lama. Kekalahan suku Ginting dan Munte menciptakan eksodus kecil-kecilan dan ketegangan antarsuku yang bertahan secara turun-temurun.
Perjalanan sejarah berdarah itu berlanjut ke tahun 1700, ketika Raja Sibayak di wilayah Barus Jahe menjadi target serangan. Serangan itu memaksa mereka untuk mundur dari Barus Jahe dan menetap di pedalaman Tanah Karo. Di sana, mereka berusaha membangun kekuatan baru di tengah kompleksitas struktur sosial Karo yang kian beragam akibat perang dan migrasi paksa.
Perang saudara yang melanda Karo bukanlah perang ideologi atau agama semata. Lebih dari itu, ia merupakan perebutan kekuasaan, wilayah, dan pengaruh antara raja-raja lokal dan kekuatan eksternal seperti Aceh dan keturunan Tamil Chola. Tidak ada satu pun kekuatan yang bisa bertahan tanpa aliansi strategis, baik secara darah maupun kepentingan ekonomi.
Meskipun beberapa penguasa seperti Sisingamangaraja ke I mencoba mengakomodasi kelompok lokal seperti Sembiring, pada akhirnya kekuatan militer tetap menjadi alat utama dalam menjaga kendali atas tanah-tanah yang subur di dataran tinggi Karo. Budaya pertempuran dan keberanian pun menjadi warisan tersendiri bagi generasi-generasi berikutnya.
Konflik-konflik ini juga memunculkan elit-elit baru dari kalangan suku yang sebelumnya tidak dominan. Misalnya, suku Kembaren yang pada awalnya bukan kekuatan besar, kemudian tumbuh menjadi penguasa wilayah strategis di kawasan Danau Toba. Hal ini menunjukkan bahwa sejarah kekuasaan di Karo sangat cair dan ditentukan oleh dinamika perang dan diplomasi lokal.
Catatan dari berbagai sumber lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi mengungkap bahwa pergolakan ini turut membentuk narasi identitas bagi masyarakat Karo. Tiap marga memiliki kisah heroik, kisah pengkhianatan, dan juga kisah pengasingan yang menjadi bagian dari narasi kolektif.
Sebagian peneliti meyakini bahwa dampak dari perang saudara dan intervensi luar ini turut mendorong masyarakat Karo mengembangkan sistem pemerintahan lokal yang berbasis pada konsensus dan musyawarah antarmarga. Hal ini bisa dianggap sebagai bentuk respons terhadap masa lalu yang penuh dengan perebutan kekuasaan dan kekerasan.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa residu sejarah itu masih membekas dalam relasi sosial hingga kini. Beberapa ketegangan antarmarga yang masih terasa hari ini, menurut para budayawan, adalah sisa dari masa lalu yang belum sepenuhnya diurai dan dipahami secara jujur.
Beberapa kalangan akademik dan sejarawan lokal kini tengah mendorong penulisan kembali sejarah Karo dengan pendekatan yang lebih kritis dan inklusif. Mereka menilai bahwa terlalu lama sejarah Karo hanya dikisahkan melalui lensa kemenangan pihak-pihak tertentu, tanpa memberi ruang pada kelompok yang kalah dan terusir.
Penulisan sejarah alternatif ini diharapkan dapat membantu generasi muda Karo memahami akar konflik leluhur mereka, serta membangun jembatan rekonsiliasi kultural yang berbasis pada keadilan sejarah. Upaya ini menjadi penting agar masa lalu yang kelam tak terus menjadi beban sosial.
Seiring dengan tumbuhnya kesadaran akan pentingnya identitas lokal, warisan sejarah seperti ini dapat dijadikan bahan refleksi untuk membangun sistem sosial dan politik yang lebih adil di masa depan. Masa lalu tak bisa dihapus, tetapi bisa dijadikan pelajaran berharga.
Tanah Karo adalah tanah yang pernah berdarah, tetapi juga tanah yang mampu bangkit dari reruntuhan sejarah. Dari serpihan-serpihan pertempuran itulah, lahir masyarakat yang ulet, kuat, dan berani mempertahankan martabatnya. Namun, keberanian sejati hari ini mungkin bukan lagi di medan perang, melainkan di meja perundingan sejarah yang jujur dan terbuka.
Dengan mengenang dan memahami sejarah panjang penuh konflik itu, masyarakat Karo punya peluang besar untuk membentuk masa depan yang damai. Sejarah bukan sekadar catatan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah, tetapi cermin dari dinamika hidup yang harus terus dipelajari.
https://www.facebook.com/share/p/1B5rpjTpFz/
0 komentar :
Posting Komentar