Sinar Harapan - Pengantar Redaksi:
Penelitian arkeologi di tanah air belum berkembang karena jumlah peneliti masih sedikit. Padahal, masih banyak persoalan yang perlu dipecahkan, di samping arkeologi Indonesia yang menarik lantaran cakupan budayanya yang begitu luas.
Dr Daniel Perret, Direktur Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO), adalah salah satu arkeolog yang menaruh perhatian sangat besar terhadap arkeologi di Indonesia. Kini Daniel bersama EFEO melakukan sejumlah penelitian, di antaranya di Batu Jaya, tentang candi-candi di Karawang dan sebuah kota kuno Barus di Sumatera Barat, serta batu nisan di Aceh. Berikut kutipan wawancara dengan Daniel Perret.
Penelitian apa saja yang sedang Anda lakukan di Indonesia?
Saya sebagai peneliti sejarah Indonesia sejak sekitar 10 tahun yang lalu dan kini bertugas di Indonesia, khususnya dalam bidang sejarah kuno. Batu Aceh sedang mendapat perhatian sejumlah peneliti termasuk saya, baik di Indonesia maupun Malaysia. Kebetulan penelitian saya tentang batu Aceh sampai sekarang lebih ke Malaysia karena saya pernah bertugas sebagai perwakilan EFEO di Kuala Lumpur selama 6 tahun. Saya sempat melakukan banyak survei di Semenanjung Malaysia untuk mencari sejenis monumen yang disebut batu Aceh. Itu diperkirakan berasal dari satu tradisi kesenian yang muncul di Aceh.
Apa kesenian Aceh berkaitan dengan batu Aceh?
Ini masih satu tanda tanya besar karena sejarah monumen ini masih belum jelas. Seperti semua orang tahu, penelitian sejarah di Aceh belum begitu maju karena sudah lama para peneliti sulit masuk ke Aceh. Dengan demikian, penelitian sejarah di sana agak terbengkalai.
Mengapa batu tersebut harus bernama Aceh dan bagaimana bentuknya?
Istilah batu Aceh digunakan untuk sejenis batu nisan pada makam Islam. Tingginya sekitar 40 cm hingga 2 meter. Ada beberapa jenis atau tipe batu nisan tersebut yang sempat kami identifikasi. Yang sangat menarik dengan batu Aceh ialah keanekaragaman bentuk dan seni yang tidak ada pada bentuk batu nisan lainnya.
Apakah itu berbeda dengan yang saya saksikan di sini? Misalnya, banyak orang Tionghoa membuat kuburan mereka dengan batu tertentu?
Itu berbeda sekali. Yang menarik, batu Aceh merupakan tradisi kesenian pada makam yang paling kuno dan yang masih kelihatan sampai sekarang. Mungkin pernah ada kesenian batu nisan lain, tapi dari kayu dan sekarang sudah tidak ada lagi.
Batu Aceh adalah salah satu proyek EFEO untuk penelitian arkeologi di Indonesia dan Dr Daniel Perret adalah direktur EFEO sekarang. Apa itu sebenarnya EFEO?
EFEO kepanjangan dari Ecole Francaise d’Extreme-Orient, yaitu pusat penelitian Timur Jauh Prancis yang didirikan sekitar 100 tahun lalu. Lembaga penelitian ini awalnya di Indo Cina. Lama-kelamaan kami membuka cabang di beberapa negara Asia dan sekarang ada sekitar 15 cabang dari India sampai Jepang, termasuk satu cabang di Jakarta. Lembaga ini bekerja dalam bidang ilmu sosial pada umumnya. Untuk arsitektur, misalnya, EFEO mempunyai cabang di Kamboja di mana beberapa candi sedang dipugar oleh peneliti dari EFEO. Ada juga antropolog, ahli bahasa, ahli sastra, arkeolog, dan sejarawan.
Siapa pendiri EFEO di Jakarta?
Prof Louis Charles Damais pada 1950-an. Damais bekerja sama dengan arkeolog Indonesia di pusat penelitian arkeologi nasional.
Saya melihat ada banyak terbitan buku EFEO. Apa saja terbitan EFEO yang berkaitan dengan Indonesia?
Sebenarnya penelitian yang dilakukan tergantung pada peneliti yang bertugas di EFEO. Untuk sementara, ada empat peneliti EFEO di Indonesia, dua orang meneliti sejarah kuno Indonesia dan seorang meneliti sastra, khususnya sastra Melayu. Seorang lagi meneliti sejarah kuno yang dulu melakukan penelitian tentang Kerajaan Sriwijaya dan situs-situs yang berada tidak jauh dari Jakarta, yaitu situs Batu Jaya.
Apa itu situs Batu Jaya?
Batu Jaya adalah situs candi-candi yang dekat Kerawang dan diperkirakan dari sekitar abad awal Masehi. Kalau penelitian saya lebih ke zaman kemudian. Saya baru menyelesaikan program penelitian di daerah Barus, yaitu pantai barat Sumatera Utara. Ini tentang kota kuno di sana. Sekitar tahun 1980-an diketahui ada situs kota kuno di sekitar Barus dan pada 1995 kami mulai bekerja sama dengan Puspitatenas membuat ekskalasi di sana. Ekskalasi baru selesai tahun lalu (2004). Jadi, selama 11 tahun meneliti di sana dan sudah ada dua buku yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia.
Apakah memang ada kota kuno di sana?
Ada. Beberapa situs termasuk situs yang bernama Lubu Tua yang mulai dihuni pada abad IX hingga akhir abad XI dan awal abad XII.
Sebagai sebuah konsep kota, apakah itu bisa dijelaskan secara sosiologi dan antropologi?
Situs ini semacam tempat dagang di mana pedagang asing dari Timur Tengah sampai India datang ke Barus untuk mendapat hasil hutan, khususnya kamper atau kapur barus. Kapur barus itu betul-betul dari pohon kapur dan memang pada zaman itu kamper dicari karena nilainya lebih besar daripada emas. Jadi, pedagang datang dari Timur Tengah khususnya Iran dan juga dari berbagai daerah di India untuk mendapat kamper yang ditukar dengan kain-kain, manik-manik, atau benda yang lain.
Mengapa harus dilakukan ekskalasi? Apa ada suatu bencana sehingga kota itu hilang?
Tidak, ini proses biasa untuk situs pemukiman kuno sebab lama-kelamaan jejak-jejaknya hilang. Itu mungkin karena ada kegiatan tertentu, misalnya pertanian atau rumah ambruk sehingga kami terpaksa membuat penggalian untuk mencari semua lapisan penghunian yang masih dapat ditemukan.
Bagaimana awal keterkaitan Anda dengan Indonesia sehingga memilih menjadi peneliti arkeologi di Indonesia?
Sebenarnya ini tidak muncul begitu saja. Saya menjadi peneliti setelah melewati satu proses yang tidak langsung. Pertama, saya masuk universitas dan sewaktu akan mengambil master, saya diminta meneliti satu koleksi benda-benda yang dibawa oleh seorang Prancis dari Sumatera Utara. Saya kemudian meneliti koleksi tersebut sehingga mulai meneliti kebudayaan Indonesia. Lama-kelamaan saya merasa sangat tertarik sehingga mendapat Phd di Prancis tentang sejarah Indonesia. Kemudian saya menjadi peneliti di EFEO dan sempat bertugas di Malaysia dan sekarang di Indonesia.
Apa yang paling menarik soal arkeologi di Indonesia yang telah Anda teliti dan mungkin akan Anda teliti?
Yang menarik di sini ialah wilayahnya begitu luas. Penelitian arkeologinya juga belum berkembang karena jumlah peneliti sedikit. Oleh karena itu, masih banyak persoalan yang perlu dipecahkan. Ini suatu keadaan yang berbeda dengan di Prancis karena di sana arkeologi sudah lama berkembang. Saya sulit melakukan penemuan baru karena sulit membuat penelitian yang betul-betul baru. Sebaliknya, di Indonesia boleh dikatakan di mana-mana ada situs yang menarik. Kalau ada kerja sama yang baik dapat dilakukan bersama peneliti di Indonesia, hasilnya akan membuka halaman baru dalam sejarah tanah air.
Sejarah tanah air sudah lama tidak saya dengar. Tetapi ada tiga koleksi buku yang agak penting dalam sejarah Indonesia yang pernah menjadi acuan saya. Buku tersebut tentang sejarah Nusa Bangsa dan Tanah Air ditulis oleh Dennis Lombart. Saya kira sumbangan besar dari para peneliti terutama Dennis Lombart waktu itu membuat kerangka sejarah yang begitu penting.
Menurut Anda, apakah sekarang ada sesuatu yang lebih baru dalam penelitian yang membuat sejarah Indonesia akhirnya mempunyai dasar yang lain dari hasil penelitian sebelumnya terutama arkeologi?
Kalau dilihat dari hasil penelitian arkeologi saja boleh dikatakan jumlah penelitiannya masih belum mencukupi untuk mengubah gambaran tentang sejarah kuno Indonesia. Tapi lama-kelamaan akan ada penemuan baru. Misalnya, penelitian kami di Barus membuktikan bahwa pada abad IX di daerah seperti Barus sudah mengalami globalisasi karena ada hubungan dengan seluruh Asia. Orang dari Timur Tengah, India, dan kemudian Cina datang ke Barus sehingga globalisasi bukan hal baru untuk daerah tersebut.
Apakah Anda dan EFEO akan membuat program memperbanyak peneliti arkeologi di Indonesia?
Ini keputusan dari pemerintah. Kalau ingin menambah jumlah peneliti harus ada tambahan dana juga. Jadi ini bukan keputusan EFEO sendiri, tapi juga keputusan dari Pemerintah Prancis.
Penelitian arkeologi di tanah air belum berkembang karena jumlah peneliti masih sedikit. Padahal, masih banyak persoalan yang perlu dipecahkan, di samping arkeologi Indonesia yang menarik lantaran cakupan budayanya yang begitu luas.
Dr Daniel Perret, Direktur Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO), adalah salah satu arkeolog yang menaruh perhatian sangat besar terhadap arkeologi di Indonesia. Kini Daniel bersama EFEO melakukan sejumlah penelitian, di antaranya di Batu Jaya, tentang candi-candi di Karawang dan sebuah kota kuno Barus di Sumatera Barat, serta batu nisan di Aceh. Berikut kutipan wawancara dengan Daniel Perret.
Penelitian apa saja yang sedang Anda lakukan di Indonesia?
Saya sebagai peneliti sejarah Indonesia sejak sekitar 10 tahun yang lalu dan kini bertugas di Indonesia, khususnya dalam bidang sejarah kuno. Batu Aceh sedang mendapat perhatian sejumlah peneliti termasuk saya, baik di Indonesia maupun Malaysia. Kebetulan penelitian saya tentang batu Aceh sampai sekarang lebih ke Malaysia karena saya pernah bertugas sebagai perwakilan EFEO di Kuala Lumpur selama 6 tahun. Saya sempat melakukan banyak survei di Semenanjung Malaysia untuk mencari sejenis monumen yang disebut batu Aceh. Itu diperkirakan berasal dari satu tradisi kesenian yang muncul di Aceh.
Apa kesenian Aceh berkaitan dengan batu Aceh?
Ini masih satu tanda tanya besar karena sejarah monumen ini masih belum jelas. Seperti semua orang tahu, penelitian sejarah di Aceh belum begitu maju karena sudah lama para peneliti sulit masuk ke Aceh. Dengan demikian, penelitian sejarah di sana agak terbengkalai.
Mengapa batu tersebut harus bernama Aceh dan bagaimana bentuknya?
Istilah batu Aceh digunakan untuk sejenis batu nisan pada makam Islam. Tingginya sekitar 40 cm hingga 2 meter. Ada beberapa jenis atau tipe batu nisan tersebut yang sempat kami identifikasi. Yang sangat menarik dengan batu Aceh ialah keanekaragaman bentuk dan seni yang tidak ada pada bentuk batu nisan lainnya.
Apakah itu berbeda dengan yang saya saksikan di sini? Misalnya, banyak orang Tionghoa membuat kuburan mereka dengan batu tertentu?
Itu berbeda sekali. Yang menarik, batu Aceh merupakan tradisi kesenian pada makam yang paling kuno dan yang masih kelihatan sampai sekarang. Mungkin pernah ada kesenian batu nisan lain, tapi dari kayu dan sekarang sudah tidak ada lagi.
Batu Aceh adalah salah satu proyek EFEO untuk penelitian arkeologi di Indonesia dan Dr Daniel Perret adalah direktur EFEO sekarang. Apa itu sebenarnya EFEO?
EFEO kepanjangan dari Ecole Francaise d’Extreme-Orient, yaitu pusat penelitian Timur Jauh Prancis yang didirikan sekitar 100 tahun lalu. Lembaga penelitian ini awalnya di Indo Cina. Lama-kelamaan kami membuka cabang di beberapa negara Asia dan sekarang ada sekitar 15 cabang dari India sampai Jepang, termasuk satu cabang di Jakarta. Lembaga ini bekerja dalam bidang ilmu sosial pada umumnya. Untuk arsitektur, misalnya, EFEO mempunyai cabang di Kamboja di mana beberapa candi sedang dipugar oleh peneliti dari EFEO. Ada juga antropolog, ahli bahasa, ahli sastra, arkeolog, dan sejarawan.
Siapa pendiri EFEO di Jakarta?
Prof Louis Charles Damais pada 1950-an. Damais bekerja sama dengan arkeolog Indonesia di pusat penelitian arkeologi nasional.
Saya melihat ada banyak terbitan buku EFEO. Apa saja terbitan EFEO yang berkaitan dengan Indonesia?
Sebenarnya penelitian yang dilakukan tergantung pada peneliti yang bertugas di EFEO. Untuk sementara, ada empat peneliti EFEO di Indonesia, dua orang meneliti sejarah kuno Indonesia dan seorang meneliti sastra, khususnya sastra Melayu. Seorang lagi meneliti sejarah kuno yang dulu melakukan penelitian tentang Kerajaan Sriwijaya dan situs-situs yang berada tidak jauh dari Jakarta, yaitu situs Batu Jaya.
Apa itu situs Batu Jaya?
Batu Jaya adalah situs candi-candi yang dekat Kerawang dan diperkirakan dari sekitar abad awal Masehi. Kalau penelitian saya lebih ke zaman kemudian. Saya baru menyelesaikan program penelitian di daerah Barus, yaitu pantai barat Sumatera Utara. Ini tentang kota kuno di sana. Sekitar tahun 1980-an diketahui ada situs kota kuno di sekitar Barus dan pada 1995 kami mulai bekerja sama dengan Puspitatenas membuat ekskalasi di sana. Ekskalasi baru selesai tahun lalu (2004). Jadi, selama 11 tahun meneliti di sana dan sudah ada dua buku yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia.
Apakah memang ada kota kuno di sana?
Ada. Beberapa situs termasuk situs yang bernama Lubu Tua yang mulai dihuni pada abad IX hingga akhir abad XI dan awal abad XII.
Sebagai sebuah konsep kota, apakah itu bisa dijelaskan secara sosiologi dan antropologi?
Situs ini semacam tempat dagang di mana pedagang asing dari Timur Tengah sampai India datang ke Barus untuk mendapat hasil hutan, khususnya kamper atau kapur barus. Kapur barus itu betul-betul dari pohon kapur dan memang pada zaman itu kamper dicari karena nilainya lebih besar daripada emas. Jadi, pedagang datang dari Timur Tengah khususnya Iran dan juga dari berbagai daerah di India untuk mendapat kamper yang ditukar dengan kain-kain, manik-manik, atau benda yang lain.
Mengapa harus dilakukan ekskalasi? Apa ada suatu bencana sehingga kota itu hilang?
Tidak, ini proses biasa untuk situs pemukiman kuno sebab lama-kelamaan jejak-jejaknya hilang. Itu mungkin karena ada kegiatan tertentu, misalnya pertanian atau rumah ambruk sehingga kami terpaksa membuat penggalian untuk mencari semua lapisan penghunian yang masih dapat ditemukan.
Bagaimana awal keterkaitan Anda dengan Indonesia sehingga memilih menjadi peneliti arkeologi di Indonesia?
Sebenarnya ini tidak muncul begitu saja. Saya menjadi peneliti setelah melewati satu proses yang tidak langsung. Pertama, saya masuk universitas dan sewaktu akan mengambil master, saya diminta meneliti satu koleksi benda-benda yang dibawa oleh seorang Prancis dari Sumatera Utara. Saya kemudian meneliti koleksi tersebut sehingga mulai meneliti kebudayaan Indonesia. Lama-kelamaan saya merasa sangat tertarik sehingga mendapat Phd di Prancis tentang sejarah Indonesia. Kemudian saya menjadi peneliti di EFEO dan sempat bertugas di Malaysia dan sekarang di Indonesia.
Apa yang paling menarik soal arkeologi di Indonesia yang telah Anda teliti dan mungkin akan Anda teliti?
Yang menarik di sini ialah wilayahnya begitu luas. Penelitian arkeologinya juga belum berkembang karena jumlah peneliti sedikit. Oleh karena itu, masih banyak persoalan yang perlu dipecahkan. Ini suatu keadaan yang berbeda dengan di Prancis karena di sana arkeologi sudah lama berkembang. Saya sulit melakukan penemuan baru karena sulit membuat penelitian yang betul-betul baru. Sebaliknya, di Indonesia boleh dikatakan di mana-mana ada situs yang menarik. Kalau ada kerja sama yang baik dapat dilakukan bersama peneliti di Indonesia, hasilnya akan membuka halaman baru dalam sejarah tanah air.
Sejarah tanah air sudah lama tidak saya dengar. Tetapi ada tiga koleksi buku yang agak penting dalam sejarah Indonesia yang pernah menjadi acuan saya. Buku tersebut tentang sejarah Nusa Bangsa dan Tanah Air ditulis oleh Dennis Lombart. Saya kira sumbangan besar dari para peneliti terutama Dennis Lombart waktu itu membuat kerangka sejarah yang begitu penting.
Menurut Anda, apakah sekarang ada sesuatu yang lebih baru dalam penelitian yang membuat sejarah Indonesia akhirnya mempunyai dasar yang lain dari hasil penelitian sebelumnya terutama arkeologi?
Kalau dilihat dari hasil penelitian arkeologi saja boleh dikatakan jumlah penelitiannya masih belum mencukupi untuk mengubah gambaran tentang sejarah kuno Indonesia. Tapi lama-kelamaan akan ada penemuan baru. Misalnya, penelitian kami di Barus membuktikan bahwa pada abad IX di daerah seperti Barus sudah mengalami globalisasi karena ada hubungan dengan seluruh Asia. Orang dari Timur Tengah, India, dan kemudian Cina datang ke Barus sehingga globalisasi bukan hal baru untuk daerah tersebut.
Apakah Anda dan EFEO akan membuat program memperbanyak peneliti arkeologi di Indonesia?
Ini keputusan dari pemerintah. Kalau ingin menambah jumlah peneliti harus ada tambahan dana juga. Jadi ini bukan keputusan EFEO sendiri, tapi juga keputusan dari Pemerintah Prancis.
0 komentar :
Posting Komentar